Denpasar, Nikiberitabali.com – Seniman jalanan asal Denpasar, Slinat (Silly In Art), kembali menyoroti wajah pariwisata Bali melalui pameran tunggalnya bertajuk “I ❤ Bali”. Pameran ini berlangsung di TAT Art Space, Jalan Imam Bonjol, Denpasar, dari 22 Maret hingga 12 April 2025. Dengan eksplorasi visual khasnya, Slinat menghadirkan kritik tajam dalam bentuk parodi, mengajak kita mempertanyakan makna sebenarnya dari cinta terhadap Bali.
Wheatpaste: Kembali ke Akar
Dalam pameran ini, Slinat kembali menggunakan teknik wheatpaste, metode seni jalanan yang telah ia geluti sejak 2009. Teknik ini melibatkan penempelan gambar di tembok sebagai bentuk ekspresi gerilya, sering kali muncul tiba-tiba dalam semalam, membawa pesan yang menggugah keesokan harinya. Berawal sebagai sarana pengumuman, wheatpaste kini menjadi alat bagi suara-suara yang terpinggirkan—sebuah media protes yang sulit diabaikan.
Bali dan Turisme Tanpa Kontrol
Melalui “I ❤ Bali”, Slinat merespons dampak pariwisata yang berkembang tanpa batas. Alih fungsi lahan, privatisasi pantai, kemacetan, sampah, dan banjir adalah problematika yang terus menghantui Bali. Ironisnya, di tengah janji penyelamatan Bali dari ekses turisme, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
“Pariwisata yang berlebihan tanpa kontrol memunculkan banyak persoalan. Semua ini terjadi atas nama kemajuan, tapi siapa yang sebenarnya diuntungkan?” ujar Slinat.
Slogan ikonik “I ❤ Bali”, yang biasanya muncul di cendera mata wisata, kini kehilangan makna romantisnya. Dalam karya-karyanya, Slinat menyulap simbol itu menjadi propaganda satir, menantang kita untuk berpikir ulang: Apakah kita benar-benar mencintai Bali?
Distorsi Wajah dan Mutasi Simbol
Slinat menghidupkan kembali citra-citra Bali lama dengan pendekatan segar yang penuh anomali dan mutasi visual. Beberapa karyanya menampilkan wajah-wajah terdistorsi—melambangkan masyarakat yang tergerus arus pariwisata. Ada figur dengan wajah berlubang, lilin meleleh, hingga sosok adat yang sering dijadikan daya tarik turisme, namun juga menjadi korban utamanya.
Gambaran babi berkepala buldoser menjadi salah satu simbol kuat dalam pameran ini. Dulu, babi bisa berkeliaran bebas, mencerminkan ruang tanpa batas. Kini, tanah semakin diprivatisasi, setiap jengkalnya bernilai tinggi—kebebasan pun terenggut.
Realitas yang Kasar, Kritik yang Tajam
Karya-karya Slinat didominasi oleh warna hitam putih dan palet alami, memberikan kesan realisme yang kuat. Teknik wheatpaste dan drawing yang ia gunakan membawa nuansa raw, mentah, bahkan brutal—sesuai dengan realitas yang ia kritik.
Mengusung semangat realisme sosial, Slinat bukan sekadar menyajikan estetika, tetapi juga menghadirkan narasi tentang rakyat kecil yang terhimpit kemajuan. Lewat parodi “I ❤ Bali”, ia tidak hanya menyentil, tetapi juga mengingatkan: apakah Bali yang kita cintai masih benar-benar Bali yang kita kenal? (r)