Denpasar, Nikiberitabali.com – Proyek reklamasi PT Bali Turtle Island Development (BTID) di Pulau Serangan kembali disorot. Kali ini, tiga organisasi lingkungan, yakni KEKAL Bali, FRONTIER Bali, dan WALHI Bali, secara tegas mengkritik dampak proyek ini terhadap warga lokal dan ekosistem pesisir.
Dalam konferensi pers yang digelar di Denpasar, Selasa (04/02/2025), mereka mengungkap fakta mencengangkan: luasan permukiman warga Serangan yang semula 111 hektar kini menyusut drastis menjadi hanya 46,5 hektar. Selain itu, dari total 20 km garis pantai pasca reklamasi, hanya 2,5 km yang masih bisa dimanfaatkan warga. Sisanya? Dikuasai BTID.
“Ini bentuk perampasan ruang hidup! Bagaimana mungkin satu perusahaan bisa menguasai 17,5 km garis pantai, sementara warga yang tinggal di sana turun-temurun justru kehilangan akses?” tegas Direktur WALHI Bali, Made Krisna Bokis Dinata.
Tidak hanya itu, pembangunan kanal wisata sepanjang 1,5 km oleh BTID justru makin memisahkan warga dari tanah mereka sendiri. Seperti yang ditemukan dalam studi Lisa Woinarski (2002), kanal ini membuat masyarakat Serangan seolah terisolasi di pulaunya sendiri.
Selain menguasai lahan dan pantai, BTID kini disebut-sebut mengincar wilayah laut Serangan. Sejak September 2023, perusahaan ini mengajukan Permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ini bisa jadi langkah awal untuk memblokir atau menguasai perairan Serangan secara penuh! Mereka bilang untuk pemeliharaan pantai, tapi kita melihat ini sebagai upaya melegitimasi privatisasi laut,” ujar Bokis.
Kekhawatiran warga semakin besar ketika BTID memasang pelampung pembatas di perairan Serangan dengan dalih keamanan terhadap dugaan penyelundupan BBM. Namun, organisasi lingkungan menilai alasan itu tidak masuk akal dan hanya akal-akalan untuk mengendalikan akses perairan.
“Kalau memang ada penyelundupan, laporkan ke polisi! Bukan malah memasang pagar di laut yang menghalangi nelayan mencari ikan,” tegas Bokis.
Polemik bertambah ketika diketahui bahwa BTID sedang mengajukan izin pengelolaan Mangrove Tahura Ngurah Rai seluas 27 hektar, sementara 17 UMKM di Serangan justru dipaksa pergi dengan dalih merusak kawasan mangrove.
Ironisnya, berdasarkan catatan WALHI Bali, mangrove di Tahura Ngurah Rai telah menyusut drastis akibat pelepasan kawasan seluas 62,14 hektar yang diberikan kepada BTID.
“Kalau UPTD Tahura Ngurah Rai memang tegas soal mangrove, kenapa mereka dulu membiarkan BTID mengambil 62 hektar hutan? Kenapa UMKM kecil yang dikejar, tapi korporasi justru dilayani?” sindir Bokis.
Organisasi lingkungan ini mengecam kebijakan yang dinilai berpihak pada investor besar sambil menekan rakyat kecil. Mereka juga mendesak agar permohonan izin BTID untuk mengelola mangrove ditolak, serta meminta BTID untuk membuka kembali akses pantai dan laut bagi masyarakat Serangan.
“Kami tidak akan tinggal diam! Perampasan ruang hidup warga dan eksploitasi lingkungan ini harus dihentikan!” tutup Bokis dengan lantang. (jk)